Posted by : Unknown
Hari ini, minggu. Dimana aku dan Arie
akan bertemu lagi untuk yang kedua kalinya. Dan seperti biasa hatiku selalu
berdebar-debar karena aku akan melihat sosoknya yang rupawan itu dan tidak lupa
dengan rambut khas yang dimilikinya. Hihihihi
Persiapan yang dibutuhkan
kali inipun tak jauh berbeda dengan persiapan untuk pertemuan yang
kemarin-kemarin. Hanya satu yang berbeda yaitu semangatku. Diam-diam
melangkahkan kaki keluar rumah dan tidak lupa mengajak motor kesayanganku
“Suprafit”.
Di dalam perjalanan aku
selalu menghayal sambil mempersiapkan kata-kata apa yang akan aku ucapkan nanti
bila aku bertemu dengannya. Sungguh persiapan yang matang, karena kali ini aku
tidak mau menyia-nyiakan waktu seperti pada pertemuan yang kemarin.
“kamu dimana?”
“aku ada di danau, kamu langsung ke
danau aja” jawabnya.
Kemudian aku langsung menuju danau. Dari
jauh aku mencoba memastikan keberadaannya, Aha !! ternyata dia sedang duduk
dengan santainya di sana, pinggiran danau. Akupun segera menghampirinya.
“udah lama ya?” tanyaku sesampainya di
sana.
“ahh... enggak kok. Barusan aku sampe”
jawabnya.
“ohh...” aku duduk di sampingnya sambil
menghela nafas panjang.
Seperti biasa, yang kami lakukan
selanjutnya adalah bercerita tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini pada
kami. Hingga akhirnya kami kehilangan kata-kata. Akupun mencoba mencairkan suasana
dengan mengejeknya.
“sendalnya baru beli ya?” mencoba
basa-basi bertanya.
“enggak, udah lama kok”
“pantesan jelek” mulailah lidahku
mengejeknya.
“ih, tapi ini termasuk ‘awet’ tau..”
ucapannya sambil menyombongkan diri.
“masa? Bagusan juga punya aku?” sambil
memperlihatkan sendal yang sedang ku pakai padanya. Mengangkat kakiku ke
arahnya.
“yahhh, itu mah cepet putus pasti. Kalo
punya aku mah enggak” dia melepas salah satu sendalnya dan mempraktekkan apa
yang dikatakannya. Tapi karena aku iseng, aku mengambil sendal yang ada di
tangannya.
“ahhh, sendal kayak begini mah bagusan
dibuang aja..” ku ayunkan sendalnya ke arah Danau Marakash yang terlihat hijau
itu.
“yahhh, jangan donk. Entar aku pulang
pake apa?” ucapnya memelas.
“nyeker aja sih, kan enak adem” saat aku
berkata, ternyata aku lengah. Dia mengambil sendal yang sedang terpasang di
kakiku dengan cepat.
“hahaha, ayo buangnya bareng-bareng?”
diapun ikut mengayunkan sendalku ke arah danau sambil tertawa kepadaku.
“ihh, curang banget. Masa bales dendam”
“makanya balikin..” pintanya.
“kalo enggak gimana?” ledekku.
“yaudah, gampang.. tinggal dibuang aja
kok”
“oke, yang ini juga tinggal dibuang” aku
mencoba menakut-nakutinya. Dia mencoba mengambil sendalnya dariku, tapi aku
menyadarinya.
“balikin dong..” pintanya.
“tapi punya aku balikin juga?” pintaku
kembali.
“yaudah sini, mana punya aku?”
“ihh, punya aku dulu” aku takut nanti
dia membohongiku.
“enggak ah, punya aku dulu sini..”
“emm.. nih!” tak lama kemudian Arie
memberikan sendal milikku.
Tapi, tak lama dari itu. Dari jauh ada
se-genk bocah perempuan menghampiri kami. Ada yang kurus dua orang, ada juga
yang gendut satu orang dan ada yang masih kecil banget satu orang. Tentu saja
aku bingung. Sebenarnya sih, sudah daritadi mereka memperhatikan kami dari
jauh.
“siapa rie?” tanyaku sambil menunjuk ke
arah mereka.
“enggak tau, kayaknya sih Maylani” hah?
Maylani? Akhirnya aku bisa melihat wajahnya juga. Seperti apa sih orangnya,
jadi ingat waktu SMSan dengannya kemarin.
“ngapain dia ke sini? Terus yang lainnya
siapa?” tanyaku penasaran.
“enggak tau” arie langsung membuang
tatapannya dari mereka. Entahlah, mungkin Arie merasa tak suka dengan kehadiran
mereka sepertiku. Atau.. ada hal lain?
Aku dan arie seolah-olah tidak
mengetahui mereka sedang menghampiri kami. Kami tetap bercanda, tertawa-tawa.
Sampai akhirnya mereka datang. Karena merasa risih, aku langsung menoleh.
“ka arie ya?” tanyalah salah satu anak
diantara mereka.
“iya..” arie pun menoleh.
“oh.. kaka yang namanya Aini itu ya?”
sekejab dia bertanya kepadaku, dan aku mengiyakan pertanyaannya. Aku sendiri
tidak mengerti, kenapa di saat seperti itu aku dan Arie masih tetap asik
sendiri. Tak lama kemudian, anak yang tadi itu berkata lagi.
“kita pulang aja yuk? Kita dicuekin”
tegasnya.
“dih? Siapa yang nyuekin? Lagian sih
diem aja. Kalo mau ikutan.. ikutan aja” ucapku agak kesal. Sedangkan Arie hanya
diam.
“enggak ah, entar ganggu lagi” jawabnya
dengan wajah kesal.
“oh..” jawabku. Dua orang diantara
mereka pergi, sisanya tetap tinggal.
“ihh!” ku dengar salah satu diantara
mereka berbisik demikian. Karena kesal, aku langsung berbicara.
“arie.. itu diihh.. ajak main sana.
Kasian tuh anak orang dicuekin begitu..” mereka semua diam termasuk juga arie.
“kamu maylani ya?” aku langsung bertanya padanya.
“bukan” jawabnya.
“dia wulan ka” salah seorang diantara
mereka berkata seperti itu. Aku menjadi tambah bingung. Jadi, dimana Maylani?
Dan siapa Wulan?
“oh, loe yang namanya wulan?” arie
langsung berbicara.
“iya ka, dia katanya mau ketemu sama
kaka” berkatalah anak yang gendut dan sepertinya Wulan tersipu malu dan pergi.
“aku pulang dulu ya ka” ucapnya yang
kemudian langsung berjalan terburu-buru menyusul teman-temannya. Tapi, wulan
itu siapa sih? Perasaanku tidak enak.
“wulan siapa?” tanyaku tegas.
“dia itu temennya Maylani, katanya aku
mau dijodohin sama dia” berkatalah dia yang sesungguhnya. Pantas saja kemarin
Maylani bertanya seperti itu padaku.
“terus?” tanyaku singkat.
“ya aku ga mau lah..” dia mengalihkan
pandangannya.
“kenapa?” tanyaku penasaran.
“kan aku udah punya pacar” jawabnya
singkat. Walaupun singkat aku merasa cukup lega mendengarnya. Aku diam sejenak.
“oh..iya ya?” aku tersenyum sedikit. Aku
tak menyangka ternyata ada yang diam-diam membenci hubunganku dengan Arie. Aku
yakin, pasti sebelumnya Maylani membandingkan aku dengan Wulan.
***